Kiai Haji Abdul Halim (1887 – 1962)
Abdul Halim, KH. (Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, 4
Syawal 1304/26 Juni 1887-Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka,
1381 H/1962 M). Ulama besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia,
khususnya di bidang pendidikan dan kemasyarakatan, yang memiliki corak
khas di masanya. Nama aslinya adalah Otong Syatori. Kemudian setelah
menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya
bernama KH. Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya
Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul Halim adalah anak
terakhir dari delapan bersaudara. Ia menikah dengan Siti Murbiyah, putri
KH. Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka
(sebanding dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang).
Ia mendapat pendidikan agama sejak kecil. Pada usia 10 tahun ia sudah
belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa orang
kiaki di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia
22 tahun. Kiai yang pertama kali didatangi ialah KH. Anwar di Pondok
Pesantren Ranji Wetan, Majalengka , kemudian berpindah-pindah dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1
sampai dengan 3 tahun. Tercatat beberapa kiai yang menjadi gurunya,
antara lain KH. Abdullah di Pesantren Lontangjaya, desa Penjalin,
Kecamatan Leuwimunding, Majalengka; KH. Sijak di Pesantren Bobos,
Kecamatan Sumber, Cirebon; KH. Ahmad Sobari di Pesantren Ciwedas,
Cilimus, Kuningan; KH. Agus di Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa
Tengah; kemudian kembali lagi ke Pesantren Ciwedus. Di sela-sela
kehidupan pesantren, Abdul Halim menyempatkan diri berdagang, seperti
berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama.
Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam
upaya mebaharui sistem ekonomi masyarakat pribumi.
Pada usia 22 tahun Abdul Halim berangkat ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana selama 3
tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mepelajari tulisan-tulisan
Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk mendalami
pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam
dan kahtib Masjidil haram, danSyeikh Ahmad Khayyat, ketika di sana pula
ia bertemu dengan KH. Mas Mansyurdari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan
KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/1911
M ia kembali ke Indonesia.
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda
dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan
bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan pengalaman
pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar
maupun dalam negri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip.
Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya
ditawari menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya.
Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari
Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat,
sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh
di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan
(at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim
mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam
bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu.
Pada majlis ini ia meberikan pengetahuan agama kepada para santrinya.
Dengan bantuan mertuanya,KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat
Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan
berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan
yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu
perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul Qulub. Melalui lembaga ini
ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang
sosialo ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas
para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani.
Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yng
disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan
bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah
at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan),islah al-ailah (perbaikan
bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah
al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang
perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan
tolong-menolong).
Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan
masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang
telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga.
Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang
disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan
Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi
yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai
penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan
Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya
terus berjalan.
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah
al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang
pendidikan. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan
al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai
oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917
organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS.
Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu
juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh
pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun
1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura,
dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana,
Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah
seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun
1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa
perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk
mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan
menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga
mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan
wanitanya, Fatimiyah.
Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada
anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang
lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan
mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada
bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji,
Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga
memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan
beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di
Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi.
Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam)
dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna
mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim
menganut paham ahlussunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti
paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama
menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan
fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan
Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.
Selain aktivitasnya membina organisasi PUI, ia aktif berperan dalam
berbagai kegiatan politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun
1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada tahun
1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat
Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH.
Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI
(Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di
Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis
Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga
termasuk salah seorang anggota Badap Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun
1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP), dan anggota
Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan kawan-kawannya ia dikenal
sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai
dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan.
Pada tahun 1940, ia bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor
Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa
tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi
Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke
pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang
keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh
Belanda.***(Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
cet-11, 2003, hal. 12-14).